Peradaban Maju dan Mendengarkan

Nganjuk, Ponpes YTP Kertosono - We listen and we don’t judge tidak asing di telinga anak remaja. Ungkapan itu berasal dari permainan trend akhir tahun 2024. Dalam permainan tersebut, setiap anak memberitahukan perihal dirinya. Sementara itu, anak lain yang terlibat dalam permainan hanya mendengar. Mereka tidak diperkenankan menghujat maupun mencela. Bahkan memberikan respons pun tidak boleh. Tugas mereka cuma satu: mendengarkan. 

Permainan tersebut menyiratkan pelajaran terkait tugas manusia hanyalah mendengarkan. Tugas menghakimi biarlah dilakukan oleh orang yang berwenang.

Praktik we listen and we don’t judge tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, penghakiman terhadap orang lain telah jamak terjadi. Bila seseorang menerima berita informasi atau berita tentang orang lain, mereka dengan mudah memberikan penilaian dan stigma. Tidak jarang orang lain dipersuasi agar mengamini pendapatnya. Berita yang tidak jelas dianggap sebagai sebuah kebenaran. Tidak berlebihan, kekacauan muncul beriringan dengan berita yang tidak jelas tersebut.  

Novelis Indonesia terkemuka, Tere Liye pernah mengalami penghakiman akibat berita yang dipercayai sebagai sebuah kebenaran. Sebagai penulis novel, Hafalan Sholat Delisa, Tere Liye pernah dihakimi sebagai penjiplak. Pasalnya, ada seorang yang mengaku kisah hidupnya seperti kondisi Delisa, tokoh utama novel yang berlatar belakang tsunami Aceh 2004. Secara kebetulan, ada anak kecil yang menjadi korban tsunami Aceh 2004 yang bernama Delisa Fitri. 

Berita tersebut lantas menghakimi Tere Liye sebagai penjiplak kisah anak yang dilakukan tanpa izin. Novelis dengan latar belakang pendidikan sarjana ekonomi Universitas Indonesia itu dikritik dan bahkan dihujat. 

Bagi yang mempercayai berita tersebut, Tere Liye adalah novelis buruk yang menuliskan cerita pahit seseorang tanpa izin. Tere Liye sendiri telah klarifikasi keluarga Delisa Fitri dan orang-orang terdekatnya untuk menjelaskan kesalahpahaman. Baginya, Hafalan Sholat Delisa merupakan novel fiksi dengan inspirasi bencana alam yang faktual serta tidak terinspirasi dari Delisa Fitri. Klarifikasi ini telah diungkapkan Tere Liye sejak tahun 2012. Tapi, hingga tahun 2024 masih ada saja orang yang menghujat Tere Liye lantaran baru membaca atau mendengar berita yang telah lama tersebut. 

Penghakiman yang dilakukan karena berita yang tidak berdasar merupakan sebuah kemerosotan peradaban. Dalam konteks inilah, we listen and we don’t judge perlu digalakkan. Kemampuan mendengar perlu diasah ulang agar tidak terjadi gonjang-ganjing. Segala berita tentang seorang tidak perlu dicaci, dihujat ataupun dihakimi. Tidak perlu disebarkan pula. Tugas manusia hanya mendengarkan. 

Penulis: RAHMAH MAZIDAH
Santri MA YTP Kertosono (Kelas X)
Ponpes Ar-Roudlotul Ilmiyah
(Pondok YTP Kertosono)