70 Tahun Lebih Pesantren Ar-Raudlatul Ilmiyah Kertosono Nganjuk


Ar-Raudlatul Ilmiyah.  Taman Pengetahuan. Demikianlah KH. Salim Achyar memberi nama pesantren yang didirikannya tahun 1949. Nama yang menyiratkan visi dan misi KH. Salim Achyar dalam mendirikan pesantren tahun 1949. 

Bermula dari sebidang wakaf Hj. Siti Marijam, pesantren ini tumbuh dan berkembang. KH. Salim Achjar, pendiri pesantren ini adalah santri KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang yang juga pendiri Nahdlatul Ulama. Usai nyantri di Tebuireng Jombang, Kiai Salim melanglang buana hingga berdomisili beberapa tahun di Mekkah, menuntut ilmu pengetahuan. Kiai Salim merupakan tipikal seorang santri-kiai yang pernah puas dengan ilmu pengetahuan yang dicerapnya. Sebuah pelajaran bagi siapa pun yang kini sedang berada di pesantren yang didirikannya itu.  

Kepada seorang santrinya, Kiai Salim mengutarakan asanya: santri harus bisa membaca dan memahami kitab kuning sebagaimana mereka membaca dan memahami latin. Karena itu, kitab-kitab di pesantren kala itu semuanya berbahasa Arab tanpa harakat. Gundul. Kepengasuhan Kiai Salim sepanjang tahun 1949-1974 melahirkan santri yang kompeten dalam membaca dan memahami kitab kuning. Di pentas nasional, orang mengenal Moeslim Abdurrahman, Ph.D (w. 2012) dan Dr. Ki Ageng Fatah Wibisono (w. 2013). Tokoh nasional yang telah wafat tersebut merupakan santri Kiai Salim, kiai yang punya hobi tidak lazim saat itu: membaca koran. 

Kecuali itu, Kiai Salim mencurahkan hidupnya demi kelansungan pesantren. Tidak jarang memperbaiki sekaligus mengecat. Bahkan, satu-satunya jas yang dimilikinya digadaikan untuk membeli cat. Begitulah, laku mulia seorang kiai mengasuh pesantren. Apapun diberikan. Sebuah keteladanan yang tidak lekang dimakan zaman. 

Kiai Salim wafat di hari senin, 28 Agustus 1974, usai subuh merekah. Pesantren disergap duka luar biasa. Kehilangan kiai yang selama ini menjadi pengasuh sekaligus bapak. Dipilihlah santri senior Kiai Salim yang hafal Alfiyah Ibn Malik, kitab Nahwu yang paling otoritatif di kalangan pesantren. Kiai Musta’in Kastam namanya. Putra kiai kampung sebuah desa di Pantai Utara Lamongan.  Santri memanggil Kiai Musta’in dengan panggilan Kiai Ta’in. 

Sebagai kiai muda dan baru menjadi pengasuh, Kiai Ta’in menghadapi persoalan pelik. Hampir semua santri pindah ke lembaga pendidikan lain. Hanya menyisakan 20-an santri. Kiai Ta’in menolak menyerah. Hidupnya 24 jam untuk diwakafkan untuk pesantren dan santri. Mendidik santri dari satu kelas ke kelas lain pagi hingga malam. Mengajar tafsir dan hadits. Tidak pula, membacakan Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, kitab perbandingan mazhab karya salah satu faqih cum filsuf  Muslim terkemuka kelahiran Cordova, Ibn Rusyd.

Dalam kenangan santri, Kiai Musta’in tidak berjarak dengan santri. Sangat akrab. Lebih dari seorang bapak. Beberapa santri pernah diminta untuk memboncengnya naik sepeda angin. Tidak jarang pula memanggil santri dengan laqab (julukan) tertentu. Sekalipun demikian, Kiai Ta’in sangat tegas dalam prinsip mendidik santri.  

Atas takdir Allah, Kiai Ta’in kembali kehadiratNya di usia yang relatif muda, 44 tahun. Di masa pesantren dihuni oleh sekitar 700-an santri. Dua puluh tahun mengasuh santri. Pengabdian yang lama. Senin, 8 Agustus 1994, Kiai Musta’in menghembuskan nafas terakhir di RS Bhayangkara Kediri. Jenazah dishalati dan dimakamkan pukul 16.00 sore hari di pemakaman umum Banaran Kertosono. Dari Kiai Ta’in, kami belajar kesederhanaan dan istiqomah merawat pesantren dan santri.

Pesantren Ar-Raudlatul Ilmiyah bukanlah pesantren keluarga. Tidak dikenal konsep dzurriyah, anak-cucu, yang dipandang paling berhak meneruskan estafet kepengasuhan pesantren. Kekosongan pengasuh mendorong Kiai Sun’an Karwalib dan pengurus yayasan menunjuk seseorang yang menggantikan Kiai Musta’in. Disepakati tiga kiai, yaitu KH. Ali Manshur Kastam, Kiai Ali Hamdi Mudaim, dan KH. Ja’far Yasa’, yang menjadi pengasuh pesantren dengan pembagian kerja masing-masing. 

Pengasuh utama, Kiai Ali Manshur adalah santri Kiai Salim dan Kiai Ta’in. Tidak memperoleh ijazah, kecuali dari Pesantren Ar-Raudlatul Ilmiyah. Kiai ahli tafsir dan hadits ini senantiasa berpesan, “Agar sukses dunia-akhirat dan ilmunya bermanfaat, santri harus menyembelih sifat empat unggas, yaitu: gagak yang doyan makanan haram, ayam jago yang gemar berpacaran, merpati yang senang keluyuran, dan merak yang suka bersolek”. Di bawah kepengasuhannya yang telah berjalan hampir dua puluh lima tahun tahun, pembangunan dan pengembangan pesantren terus  dikebut. Salah satu hasil didikan kiai yang suka baca buku dan koran ini adalah Ali Muthohirin (Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 2017-2019). 

Kiai lain, Kiai Ali Hamdi bertugas untuk mengurus kesantrian. Dengan berbagai dinamikanya, kiai yang pernah menjabat Ketua PD Muhammdiyah Nganjuk ini selalu bersikap lembut dan ngayomi santri. Karakter tersebut mencerminkan keahliannya dalam ilmu Ushul Fiqh dan Qawaidul Fiqh. Dua ilmu yang mensyaratkan keluwesan, tidak kaku. Di bawah pengampuannya, kitab Mabadi’ Awwaliyah, As-Sulam dan al-Bayan disampaikan dengan lugas dan mudah dipahami. Kiai yang gemar menulis dan olahraga ini  wafat pada Rabu, 7 Oktober 2009, di RSUD Jombang. Dari Kiai Ali Hamdi, santri belajar merangkai kata demi kata sekaligus bersikap lembut terhadap siapa pun.  Karakteristik khas kiai yang ahli ushul fiqh.

Kiai terakhir dari tiga serangkai adalah Kiai Ja’far. Inilah kiai administratur yang konsen di bagian pendidikan. Pembenahan administrasi dilakukan. Berjuang agar santri memperoleh ijazah formal yang setara dengan lembaga pendidikan lain. Darinya kami belajar majaz  mursal, ilmu badi, dan lain-lain. Ahli ilmu Balaghoh dan Fara’id kerapkali memberi motivasi kepada santri untuk meraih kesuksesan dengan menyitir syair Arab, تَرْجُو النَّجَاحَ وَ لَنْ تَسْلُكْ مَسَاكِلَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِى عَلَى الْيَبَسِ (kamu mengharap keselamatan tapi tidak menempuh jalannya. Sesungguhnya perahu tidak berjalan di atas daratan). 

Ar-Raudlatul Ilmiyah telah berusia lebih dari  70 tahun. Bertahan di berbagai perubahan zaman.  Tiga kiai telah berganti; mulai dari KH. Salim Achyar, KH. Musta’in Kastam, hingga KH. Ali Manshur Kastam. Sebagaimana disebutkan dalam Kaidah Fiqh, اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَ الْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ اْلأَصْلاَحِ, tugas bagi semuanya kiai, ustaz, santri dan alumni adalah menyirami dan merawat taman yang elok nan indah ini. 

Ribuan terima kasih kepada pesantren Ar-Raudlatul Ilmiyah dan para kiai