Urgensi Muraqabah dalam Kehidupan Sehari-hari
Tulisan ini berupaya menelisik urgensi muraqabah sebagaimana yang ditulis al-Ghazali dalam buah pena magnum opusnya Kitab Ihya’ Ulumuddin.
Menurut al-Ghazali, hakikat muraqabah adalah perhatian yang terjaga dan terarah hanya kepada Allah. Muraqabah merupakan hasil dari ma’rifah. Tujuannya hati yang terarah hanya kepada Allah. Dengan keadaan hati seperti ini, maka akan menjadi sebab dilakukannya kebaikan oleh hati itu sendiri dan anggota tubuh lainnya.
Ada pula ulama tasawuf yang mendefinisikan muraqabah sebagai kesadaran yang selalu dilihat dan diawasi oleh Allah. Kesadaran tersebut lantas menumbuhkan sikap selalu menaati perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Iman kepada Allah mengharuskan beriman pula bahwa Allah Maha melihat. Tidak ada satu pun gerak lahir dan batin manusia yang tersembunyi di sisi Allah.
Terlepas dari perbedaan definisi tersebut, Al-Ghazali memandang muraqabah sangat urgen bagi manusia. Sebab, dengan muraqabah, perbuatan manusia akan diarahkan untuk selalu diniatkan dan ditujukan hanya kepada Allah semata. Urgensi muraqabah tersebut didasarkan ayat al-Qur’an. Pertama, أَلَمْ يَعْلَم بِأَنَّ ٱللَّهَ يَرَىٰ “Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya” (QS. al-‘Alaq:14). Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut bahwa menyakini adanya Allah dan pengetahuanNya terhadap segala gerak hati dan perbuatan makluq-Nya akan mengantar kepada kesadaran jati diri manusia dan peran yang harus diembannya dalam kehidupan. Orang yang tidak memiliki kesadaran muraqabah akan bergelimpangan dengan tindakan kesewenang-wenangan dan dosa.
Kedua,اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا “Sesungguhnya Allah selalu mengawasimu”. (QS. an-Nisa’:1). Menurut Ibn Katsir, ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah akan senantiasa mengawasi segala gerak-gerik hambaNya. Dalam konteks ini, pengawasan tidak hanya Allah menjaga hambaNya, tetapi Allah Mahamelihat perbuatan manusia sekaligus akan memperhitungkannya.
Muraqabah bukanlah kesadaran manusia yang bersifat tunggal. Dalam kitab Riyadus Shalihin karya Imam an-Nawawi bab muraqabah dinukil hadits Nabi Muhammad أَنْ تَعْبُدَ اللَّه كَأَنَّكَ تَراهُ فإِنْ لَمْ تَكُنْ تَراهُ فإِنَّهُ يَراكَ “Hendaknya engkau menyembah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya, dan jikalau engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia itu melihat engkau” (HR. Muslim, Turmudzi, Abu Daud dan Nasai).
Manusia yang mampu menghadirkan Allah dalam hatinya seolah-olah melihatNya akan melahirkan konsistensi dalam kebaikan dan malu bila melakukan perbuatan yang tidak diridhoiNya. Bagaimana tidak merasa malu, Allah telah menganugerahkan kepada hambaNya berbagai karuniaNya. Di sisi lain, Allah menutup aib hambaNya.
al-Ghazali membagi muraqabah dalam dua tingkatan. Pertama, muraqabahnya para muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah). Muqarabah tingkatan ini ditandai dengan ‘hati manusia yang tenggelam dalam perhatian kepada Allah semata’. Hati seperti ini membawa manusia tidak tertarik kepada hal-hal yang diperbolehkan (al-mubahat) terlebih lagi kepada hal-hal yang diharamkan (al-muharramat). Muraqabah ini hanya bisa dilakukan oleh ash-shiddiqin, orang yang sangat teguh dalam menjaga iman.
Kedua, muraqabahnya orang-orang yang wara’ dari golongan kanan (aṣhabul yamin). Mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa Allah melihat sisi lahir dan batin hati manusia. Tapi, hati seperti ini tidak terlalu ‘tenggelam dalam perhatian kepada Allah’. Mereka tetap melakukan perbuatan yang diperbolehkan disertai dengan muraqabah yang didasarkan atas rasa malu kepada Allah.
Muraqabahnya Nabi dan Sahabat
Para nabi merupakan pribadi yang mempunyai muraqabah yang tinggi. Mereka selalu menumbuhkan kesadaran bahwa semua tingkah lakunya selalu berada dalam pengawasan Allah di mana pun berada dan kapan pun, sehingga tidak terjerumus dalam mengikuti hawa nafsu dan melakukan dosa. Jejak teladan mulia tersebut coba dilakukan para sahabat.
Salah satu kisah muqarabah yang termaktub dalam al-Qur’an menceritakan ketangguhan hati Nabi Yusuf dalam menghadapi godaan perempuan bangsawan nan cantik jelita. QS. Yusuf: 22-23 menceritakan bagaimana godaan Zulaikha, istri Futhifar, kepada Nabi Yusuf. Zulaikha sengaja menutup pintu sebuah ruangan serta mendekati dan menggoda Nabi Yusuf. Bahkan Zulaikha meminta agar Nabi Yusuf untuk mendekat. Tapi, Nabi Yusuf menolak ajakan dan bujuk rayu Zulaikha. Dengan tugas Nabi Yusuf berujar مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ “Aku berlindung kepada Allah. Sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang dhalim tidak akan beruntung” (QS. Yusuf:23). Muqarabah mendorong Nabi Yusuf menolak godaan perempuan bangsawan nan cantik jelita.
Para sahabat Nabi Muhammad pun memiliki muraqabah. Muraqabah yang popular dalam hal ini adalah kisah Umar bin Khattab. Suatu hari Umar melakukan perjalanan dari Madinah menuju Mekkah. Perjalanan Khalifah Umar ketika itu ditemani Abdullah bin Dinar. Di tengah perjalanan, Umar bertemu dengan anak gembala. Dalam hati Umar mencuat keinginan menguji kejujuran pengembala. Umar lantas mendekatinya, seraya berkata, “Sungguh banyak kambing yang kamu pelihara, lagi pula sangat bagus dan gemuk-gemuk semuanya. Oleh karena itu, juallah kepadaku. Saya menginginkan seekor kambing yang gemuk dan bagus”.
Mendengar kata-kata demikian, pengembala menjawab, “Kambing-kambing ini bukanlah milik saya, tetapi milik majikan saya. Saya hanyalah seorang hamba dan pengembala yang mengambil upah saja”. Umar menimpali, “Katakan saja nanti pada tuanmu, kambing itu dimakan serigala”.
Pengembala diam sejenak, ditatapnya wajah Umar. Dari bibir pengembala keluar perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar, “Fa ainallah? Fa ainallah?”, jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di manakah Allah? dimanakah Allah? Bukankah Allah Maha melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?”. Umar pun menangis dan mendekap pengembala. Kemudian meminta ditunjukan rumah majikannya. Tak lama, Umar membeli pengembala itu dan kambing-kambingnya dari majikannya. Lalu, Umar memerdekakan pengembala. Tidak hanya itu, Umar menghadiahkan seluruh kambing yang telah dibelinya sebagai hadiah atas sifat muraqabah pengembala.
Dua kisah di atas menunjukkan urgensi muraqabah dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa mempunyai kesadaran diawasi oleh Allah, manusia akan terjerumus dalam kesewenang-wenagan dan lembah dosa.
#MCYTP